ArabicKoreanJapaneseChinese SimplifiedEnglishFrenchGermanSpainItalianDutchRussianPortuguese

Sabtu, 16 April 2011

Akhi… Mereka Menanti


Obrolan beberapa waktu yang lalu, antara aku dengan dua teman lama yang kutemui di kost mereka.

Kebetulan salah satu temanku tadi hendak menggenapkan setengah diennya dan yang satunya lagi sedang menjalani proses ta’aruf.

Maka Kami pun membicarakan tentang pernikahan, ta’aruf, pengalaman bias merah jambu di kehidupan masing-masing dan masalah-masalah sejenis.

Diskusi ringan itu merembet ke masalah proposal-proposal pernikahan yang masuk ke bagian biro jodoh dari sebuah jama’ah yang diikuti oleh dua temanku.

Katanya, berkas dari para ikhwan tidak sebanding dengan proposal-proposal para akhwat yang menumpuk tinggi.

Sudah tahu begitu, tapi di kalangan ikhwan tak juga berusaha untuk bersegera, mereka tidak juga peka bahwa ada banyak ukhti yang menanti.

Saat itu aku hanya menjadi pendengar setia, karena untuk masalah begini aku memang kurang paham dan kurang pengalaman.

Dua sahabatku masih saling tutur, satu pendapat keluar pendapat lain menguatkan.

“Anak kampus banyak yang pengecut.”

“Kok bisa?” kataku sambil menahan senyum, tersenyum karena yang di depanku juga mahasiswa,tersenyum karena untungnya aku bukan termasuk anak kampus.

“Ya memang begitu, setiap ditanya kapan nikah mereka banyak yang menjawab nanti dulu, belum mapan, ingin sekolah lagi dsb, dsb. Mungkin ini bisa jadi bukti rendahnya kualitas keimanan hingga tawakal mereka atas rizki begitu tumpul. Atau mereka telah hilang keberanian, hilang keyakinan bahwa Allah selalu memberi jalan keluar.”

“Itu kan wajar akh, kualitas iman kan memang beda-beda.” Kataku lagi.

“Iya memang wajar, tapi masalahnya bukan itu saja,” kata temanku yang satu lagi. “Kalau memang belum siap seharusnya kan mencari jalan untuk mempersiapkan diri, ini malah banyak yang HTS-an, TTM-an, banyak bermunculan ikhwan-ikhwan yang jempol kanannya kapalan karena kebanyakan sms-an.”

“Nah kan malah jadi penyakit di hati. Mereka tahu kebutuhan akan lawan jenis, tapi gak berani nikah, akhirnya melangkah di jalan para pengecut. HTS-an, TTM-an,adik-adikan, pacaran. Yang rugi bukan cuma individu masing-masing, tapi kualitas dakwah juga ikut terimbas.” imbuh sahabatku.

“Akh HTS-an itu apa to?” Tanyaku lugu.

“Hubungan Tanpa Status!” Serentak keduanya menjawab.

“Kalau TTM?”

“Teman Tapi Mesra!”

Aku menganguk-anguk, “Memangnya belum pernah dengar istilah itu?” tanya temanku.

“Sudah, hanya memastikan, siapa tahu artinya beda.” Kataku kalem.

Aku jadi ingat komentar seorang ikhwan yang ditanya, “Kenapa tidak bersegera?” Meski ia menjawab dengan nada canda, ada sebuah jawaban yang membuatku ingin menonjok mukanya. “Santai saja Akh, pasti dapat kok, tinggal milih! stok akhwat kan banyak!”

Teganya mereka bilang demikian, begitu ringan lidahnya. Memangnya para wanita itu mereka anggap apa? Barang? Bukan manusia yang punya perasaan? Coba kalau jawaban itu didengar para ukhti yang dengan sabar menanti proposalnya diproses. Kemudian dimana nilai ukhuwah yang sering digembar-gemborkan itu?

Rata-rata mereka hanya berani ngobrol masalah nikah, ngomongin ukhti A atau Ukhti B di belakang tapi giliran disuruh mengkhitbah, ngeper! dan menghindar dengan berbagai alasan.

Bukankah lebih bermanfaat jika mempersiapkan diri untuk menikah dari pada menilai dan membicarakan plus berangan-angan bisa bersanding dengan ukhti A atau ukhti B?

Dan aku kembali mendengar tuturan mereka, “Terus terang Akh, saya rindu dengan suasana dakwah tahun-tahun yang lalu. Ketika menikah memang untuk menguatkan barisan dakwah, ikhlas menerima siapa saja, yang penting militan. Lebih tua yang perempuan tidak masalah yang penting nikah dan bisa saling menguatkan, bisa menjaga kehormatan diri dan memelihara pandangan.”

“Saya kagum dengan teman-teman Rohis di SMU dulu, mereka sudah banyak yang menikah terutama yang tidak melanjutkan kuliah. Dan tidak sedikit yang menikahi perempuan-perempuan yang lebih tua, dua, tiga tahun di atas mereka. Padahal yang lebih muda pun ada. Kalau mereka mau bisa cari sendiri tanpa harus taat dengan guru ngaji. Sungguh keikhlasan mereka, saya salut.”

Aku tersenyum. Ah, masa lalu itu. Memang selalu indah untuk dikenang namun selamanya tak akan pernah menghampiri lagi. Akankah terulang?

“Kalau antum, kapan nikahnya Akh?”

Aku diam mendengar tanya itu, mungkin aku termasuk golongan yang menurut mereka pengecut karena tak segera mempersiapkan diri untuk pernikahan. Tapi paling tidak aku punya prinsip sendiri. Saat aku tertarik dengan perempuan, maka aku akan diam di tempatku, tak akan kuumbar kata-kata indah di depannya, tak akan kucoba dekati dia, tak akan kuungkapkan perasaanku padanya. Aku akan tetap diam dan berusaha bersikap biasa sampai nanti aku siap untuk meminangnya. Biar ketertarikan ini hanya milikku sendiri. Bagaimana jika didahului orang lain? Berarti memang dia bukan rizkiku, bukan bagianku, dan Allah pasti akan memberi yang lebih baik bagiku. Insya Allah.

Dan aku pun menjawab tanya itu, “Doakan saja semoga cepat menyusul.” jawaban inilah yang kurasa paling aman.


Sumber : Mitra Dakwah

JM Community

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

1 komentar: on "Akhi… Mereka Menanti"

Waektra mengatakan...

wah...betul tuh mas...banyak juga pemuda jaman skrg yang tau shalat tapi masih aja pacaran...udah umur 25-26...masih lanjut ajaaa tuh pacaran..ga tau kapan nikah nya...kan kasian akhwat nya yang klamaan resah menunggu...duh umur ku baru 18thn tapi jadi pengen ngrasain neh ta'aruf..heheheh
http://wahyu-dakwah.blogspot.com/

Posting Komentar