Bagaimana kalau senior/kakak yang kita hormati dan selama ini dijadikan panutan ternyata di belakang tabir terlihat cin-lok (cinta lokasi) alias pacaran dengan rekan kerjanya? Kita jadinya kurang hormat lagi sama dia.
Itulah salah satu cuplikan pertanyaan yang dikemukakan seorang peserta pada acara Seminar Islam Sehari II dengan tajuk Problematika Pergaulan Pria dan Wanita serta Solusinya, Ahad 3 September 2000 di Masjid PB Sudirman, Cijantung. Acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Insan Robbani bekerja sama dengan Al-Izzah dan Bursa Nurul Fikri, ternyata mendapat sambutan yang cukup besar, yaitu dengan hadirnya sekitar 600 orang peserta, dengan rasio perbandingan pria dan wanita 1:3.
Pada sesi I yang berjudul ”Virus Cinta Mengintai Aktivis Da’wah”, tampil sebagai pembicara Ust. Dedi Kusmayadi Zaidi (Psikolog yang biasa mengisi di radio DAKTA) dan di pandu oleh Bambang Suherman (PemRed Al-Izzah).
Ust. Dedi mengawalinya dengan penjelasan tentang konsepsi cinta itu sendiri, yang ada legalitasnya dalam Al-Qur’an. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, ........ Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (Q.S 3:14). Jadi apakah cinta tersebut akan menjadi virus atau tidak (istilah Ust. Dedi: virus lovesus problematikus membius) tergantung bagaimana kita me-manage-nya. Dan jangan lupa bahwa Islam punya konsepsional cinta yang tertinggi, yaitu Katakanlah: ”Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu....” (Q.S 3:31) juga dalam ayat lain yaitu Q.S 9:24.
Jadi konsepsional cita menurut syari’atlah yang harus membingkai kita dalam kehidupan (pergaulan) sehari-hari. Jangan sampai kita membangun dan memupuk romantisme spiritual yang salah kaprah. Kepada orang tua dan suami/istri kita misalnya, romantisme kita kurang sekali. Say I love you kepada mereka hamper tidak pernah kita lakukan.padahal pengakuan verbal seperti ini sangat dibutuhkan tiap orang. Namun, di luar yang halal itu malah kita out of control dalam membangun cinta/romantisme, misalnya dengan partner kerja da’wah kita, yang belum halal kepadanya kita saling ber-romantisme.
Namun, semua permasalahan menurut Ust. Dedi, bisa dibicarakan dan dicarikan jalan keluarnya, apalagi kita bicara tentang What we feel, tentang perasaan. Hati memang sangat susah ditebak, dan adalah kita yang harus menjaga dan memeliharanya, agar cinta yang keluar darinya adalah cinta yang sesuai dengan konsepsi cinta yang syar’i. Kasus-kasus yang terjadi di kalangan aktivis da’wah, apakah itu cinta lokasi, patah hati karena yang di’incar’ sudah diambil orang lain, pergaulan ikhwan dan akhwat yang nyaris tak berhijab (pun pudarnya hijab hati!), janganlah membuat semua aktivis da’wah jadi patah arang, ataupun terjebak dalam pesimisme berlebihan akan akhlaq saudaranya sesama aktivis.
Adalah kewajiban untuk mengingatkan saudara kita bila mereka sedang lalai (Q.S 103:3). Saatnyalah bagi kita untuk membudayakan ’taushiyah’ dalam ber-’amal jama’i , dan mengubur rasa sungkan menegur tapi di belakang mereka, kita kasak-kusuk tidak terarah alias ghibah.
Ruang dialog yang disediakan pada sesi I ini, sangat dirasa kurang oleh peserta, sampai-sampai ada beberapa peserta yang protes keras karena belum kebagian bertanya. Ada pertanyaan yang cukup ekstrim dari peserta pria. Dia dan saudara-saudarinya dalam melakukan kerja da’wah ditegur terus oleh seniornya karena kurang hijab dsb, jadi bagaimana kalau mengadakan kegiatan, ikhwan-ikhwan saja, akhwat-akhwat saja, kata penanya ini.
Ust. Dedi menjawab bahwa Rasulullah sendiri tidak pernah memberi batas demarkasi dalam berda’wah, sesuai perintah dalam Al-Qur’an jika dikatakan Ud’u maka itu adalah jamak untuk laki-laki dan juga perempuan, hanya teknisnyalah yang harus diatur dengan baik.
Pukul 13.00 acara seminar dilanjutkan ke sesi II dengan judul yang cukup membuat heboh (banyak pro dan kontra masuk ke panitia karena judul ini) ”Keraguan Pria, Penantian Wanita (Sebuah Fenomena)”. Tampil sebagai pembicara Ust. Rahmat Abdullah (Islamic Centre Iqro’) dan A. Mabruri M. Akbari (Pemimpin Ummi/Klab Ummi Bahagia) dan sesi ini di pandu oleh Nurcholiq Ramdhan (Manajer Izzatul Islam).
Ust. Rahmat Abdullah membuka penjelasan makalahnya yang berjudul ”Laki-Laki dan Perempuan, Antara Keraguan dan Penantian” dengan hakikat penciptaan manusia itu sendiri, bagaimana harapan yang besar ditumpukan kepada kita, manusia (Q.S 3:104, 110, dan Q.S 9:111-112). Bahwa kita wajib berda’wah, bahwa diri dan harta orang mu’min telah dibeli oleh Allah dengan imbalan surga, bahwa kita harus memelihara hukum-hukum Allah dan harapan mulia lainnya yang ditujukan pada manusia. Karena itulah kita harus membangun target-target baik personal, komunal maupun struktural.
Target personal yaitu berbadan kuat, berakhlaq teguh, berfikiran intelek, mandiri dalam ekonomi/mampu berma’isyah, beraqidah murni, beribadah shahih, berkemampuan mengendalikan diri, effisien waktu, tertib diri, dan bermanfaat bagi sesama.
Target komunal yaitu punya misi yang jelas, risalah yang sesuai Al-Qur’an dan Sunnah, kemampuan menghimpun kalimatul muslimin, mempunyai peran-peran operasional dalam mewujudkan tujuan-tujuan Islami, kesinambungan kerja, kemampuan membekali para ahlinya dengan sifat-sifat mulia (Q.S 5:54) dan komitmen akan ukhuwah Islamiyah.
Target struktural adalah adanya kepemimpinan yang tahu apa yang ia mau, tegaknya struktur di atas minhaj yang ilmi dan tarbawi, struktur yang mampu menghimpun para anggotanya dimanapun mereka berada (Q.S 9:128), kondisi tsiqoh prima antara qiyadah dan jundi, setiap kader mampu menempati posisinya yang tepat, setiap pertemuan kelompok/klubnya mampu mencerminkan 3 atmosfer bi-ah yaitu ruhiyah & taabbudiyah, ilmiyah & tsaqafiyah, da’awiyah & harakiyah.
Namun kenyataan hari ini ternyata ada bengkalai yang masih tersisa (begitu istilah Ust. Rahmat). Termasuk di dalamnya Fenomena Da’wah dan Du’at yang juga tercakup tentang pernikahan/jodoh. Mengenai hal ini kita harus melihatnya baik dari sudut pandang ikhwan maupun akhwat.
Bagi ikhwan, gagasan menikah sama dengan berperan sebagai pemikul. Berarti harus ada yang alat pemikul, ada tenaga untuk memikul, dan ada yang dipikul. Kondisi ini dipersulit dengan sistem pendidikan kita yang memperlambat kedewasaan. Jadilah kondisi ini yang bernaung dalam benak ikhwan. Maka jangan heran dalam usia 27 tahun, ikhwan masih asyik melenggang.
Sedangkan bagi akhwat, gagasan menikah sama dengan berperan sebagai yang dipikul. Di samping itu daya tahan hidup akhwat lebih besar dibanding ikhwan, angka kelahiran akhwat lebih besar dari ikhwan, terjadilah ledakan jumlah yang tidak seimbang. Sehingga di akhwat, usia 20 tahun mulai gelisah. Ada juga faktor lain yang bermain dalam kondisi ini, yaitu ketersinggungan bila diberikan orang ‘ammah’.
Permasalahan yang berkaitan dengan pernikahan/jodoh ini bukanlah persoalan diri kita masing-masing. Ia adalah persoalan bersama, persoalan dunia bahkan adalah persoalan nubuwwah. Di mana Rasulullah menyebutkan bahwa di akhir zaman satu laki-laki menjadi penjaga 50 perempuan. Kegelisahan yang mungkin lebih banyak menghinggapi akhwat ini pun sulit terbantu karena adanya fenomena kultural. Contoh mudahnya, kultur kita masih bermusuhan dengan ta’adud/poligami. Padahal ta’adud salah satu pintu pengalaman bagi kondisi akhir zaman tersebut, dan dalilnya secara syar’i jelas (Q.S 4:3).
Jadi persoalan pernikahan/jodoh bukanlah dalam arti satu pihak saja yang ragu-ragu, dan satu pihak lainnya yang menanti. Kita harus melihatnya (juga melihat persoalan-persoalan da’wah lain) dari perspektif jama’i. Untuk masalah perjodohan ini, ada cerita menarik yang dapat diambil pelajaran oleh ikhwan maupun akhwat. Ada seorang Ustadz yang seluruh binaannya telah ber’azzam, bahwa jika mereka meminta akhwat, mereka berpesan agar Ustadz mereka mencarikan akhwat yang usianya jauh lebih tua dari mereka ini. Ini satu contoh bahwa kita semua mencoba mencari jalan terbaik bagi masalah ini.
Dari pihak ikhwan maupun akhwat mutlak diperlukan persiapan dan kesiapan. Di antaranya adalah militansi (salah satu yang membangunnya adalah tarbiyah yang sehat) yang dapat menimbulkan Ruh Tahaddi yaitu semangat menantang bahaya. Ini dapat meminimalisir keraguan yang melanda baik di ikhwan maupun akhwat. Bagi akhwat mungkin paradigma Ummu Sulaim dapat dijadikan contoh. Dimana dia mau menerima lamaran Abu Thalhah.
Kemudian akhwat pun belajar itsar dan tasamuh. Misalnya bila ada ikhwan yang datang padanya, sedangkan dia masih muda, mungkin bisa dia coba alihkan ke seniornya yang umurnya sudah jauh lebih tua. Satu catatan kecil bahwa akhwat pun dapat menawarkan dirinya jika memang merasa sudah siap lahir dan batin. Dan ini bukanlah merupakan suatu kehinaan, asalkan secara praktisnya sesuai kaidah syar’i.
Terakhir kita semua memang harus memandang segala sesuatu dari perspektif jama’i. Dua hal yang juga sangat penting yang seharusnya kita ingat, pertama, kita jadi bermakna karena da’wah, bukan sebaliknya. Kedua, yang akan kita ubah adalah peradaban, bukan sekedar fenomena atau rezim dan sistem.
Pembicaraan kedua pada sesi ini adalah A. Mabruri M. Akbari yang banyak mengupas hal yang ditemuinya di lapangan, karena beliau juga aktif mengurus KLUB (Klab Ummi Bahagia). Dalam 2 tahun perjalanan KLUB telah melakukan 383 (tiga ratus delapan puluh tiga) proses ta’aruf dari sekitar 500 orang anggota aktif dan lebih dari 3000 orang anggota pasif, menyebar di seluruh Indonesia, bahkan hingga ke Australia dan Jepang.
Dari data-data yang dipaparkan (walaupun respondennya sedikit), ternyata permasalahan keraguan tidak dominan ada di pihak laki-laki, tapi juga di pihak perempuan. Namun yang paling penting adalah, ikhwan maupun akhwat, sama-sama lebih mengedepankan sikap toleransi yang didasari pada keikhlasan dan menomorduakan kebutuhan-kebutuhan pribadi yang kurang esensi dalam pandangan Islam.
Sumber : Al-Izzah No.9/Th.1/September 2000
Itulah salah satu cuplikan pertanyaan yang dikemukakan seorang peserta pada acara Seminar Islam Sehari II dengan tajuk Problematika Pergaulan Pria dan Wanita serta Solusinya, Ahad 3 September 2000 di Masjid PB Sudirman, Cijantung. Acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Insan Robbani bekerja sama dengan Al-Izzah dan Bursa Nurul Fikri, ternyata mendapat sambutan yang cukup besar, yaitu dengan hadirnya sekitar 600 orang peserta, dengan rasio perbandingan pria dan wanita 1:3.
Pada sesi I yang berjudul ”Virus Cinta Mengintai Aktivis Da’wah”, tampil sebagai pembicara Ust. Dedi Kusmayadi Zaidi (Psikolog yang biasa mengisi di radio DAKTA) dan di pandu oleh Bambang Suherman (PemRed Al-Izzah).
Ust. Dedi mengawalinya dengan penjelasan tentang konsepsi cinta itu sendiri, yang ada legalitasnya dalam Al-Qur’an. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, ........ Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (Q.S 3:14). Jadi apakah cinta tersebut akan menjadi virus atau tidak (istilah Ust. Dedi: virus lovesus problematikus membius) tergantung bagaimana kita me-manage-nya. Dan jangan lupa bahwa Islam punya konsepsional cinta yang tertinggi, yaitu Katakanlah: ”Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu....” (Q.S 3:31) juga dalam ayat lain yaitu Q.S 9:24.
Jadi konsepsional cita menurut syari’atlah yang harus membingkai kita dalam kehidupan (pergaulan) sehari-hari. Jangan sampai kita membangun dan memupuk romantisme spiritual yang salah kaprah. Kepada orang tua dan suami/istri kita misalnya, romantisme kita kurang sekali. Say I love you kepada mereka hamper tidak pernah kita lakukan.padahal pengakuan verbal seperti ini sangat dibutuhkan tiap orang. Namun, di luar yang halal itu malah kita out of control dalam membangun cinta/romantisme, misalnya dengan partner kerja da’wah kita, yang belum halal kepadanya kita saling ber-romantisme.
Namun, semua permasalahan menurut Ust. Dedi, bisa dibicarakan dan dicarikan jalan keluarnya, apalagi kita bicara tentang What we feel, tentang perasaan. Hati memang sangat susah ditebak, dan adalah kita yang harus menjaga dan memeliharanya, agar cinta yang keluar darinya adalah cinta yang sesuai dengan konsepsi cinta yang syar’i. Kasus-kasus yang terjadi di kalangan aktivis da’wah, apakah itu cinta lokasi, patah hati karena yang di’incar’ sudah diambil orang lain, pergaulan ikhwan dan akhwat yang nyaris tak berhijab (pun pudarnya hijab hati!), janganlah membuat semua aktivis da’wah jadi patah arang, ataupun terjebak dalam pesimisme berlebihan akan akhlaq saudaranya sesama aktivis.
Adalah kewajiban untuk mengingatkan saudara kita bila mereka sedang lalai (Q.S 103:3). Saatnyalah bagi kita untuk membudayakan ’taushiyah’ dalam ber-’amal jama’i , dan mengubur rasa sungkan menegur tapi di belakang mereka, kita kasak-kusuk tidak terarah alias ghibah.
Ruang dialog yang disediakan pada sesi I ini, sangat dirasa kurang oleh peserta, sampai-sampai ada beberapa peserta yang protes keras karena belum kebagian bertanya. Ada pertanyaan yang cukup ekstrim dari peserta pria. Dia dan saudara-saudarinya dalam melakukan kerja da’wah ditegur terus oleh seniornya karena kurang hijab dsb, jadi bagaimana kalau mengadakan kegiatan, ikhwan-ikhwan saja, akhwat-akhwat saja, kata penanya ini.
Ust. Dedi menjawab bahwa Rasulullah sendiri tidak pernah memberi batas demarkasi dalam berda’wah, sesuai perintah dalam Al-Qur’an jika dikatakan Ud’u maka itu adalah jamak untuk laki-laki dan juga perempuan, hanya teknisnyalah yang harus diatur dengan baik.
Pukul 13.00 acara seminar dilanjutkan ke sesi II dengan judul yang cukup membuat heboh (banyak pro dan kontra masuk ke panitia karena judul ini) ”Keraguan Pria, Penantian Wanita (Sebuah Fenomena)”. Tampil sebagai pembicara Ust. Rahmat Abdullah (Islamic Centre Iqro’) dan A. Mabruri M. Akbari (Pemimpin Ummi/Klab Ummi Bahagia) dan sesi ini di pandu oleh Nurcholiq Ramdhan (Manajer Izzatul Islam).
Ust. Rahmat Abdullah membuka penjelasan makalahnya yang berjudul ”Laki-Laki dan Perempuan, Antara Keraguan dan Penantian” dengan hakikat penciptaan manusia itu sendiri, bagaimana harapan yang besar ditumpukan kepada kita, manusia (Q.S 3:104, 110, dan Q.S 9:111-112). Bahwa kita wajib berda’wah, bahwa diri dan harta orang mu’min telah dibeli oleh Allah dengan imbalan surga, bahwa kita harus memelihara hukum-hukum Allah dan harapan mulia lainnya yang ditujukan pada manusia. Karena itulah kita harus membangun target-target baik personal, komunal maupun struktural.
Target personal yaitu berbadan kuat, berakhlaq teguh, berfikiran intelek, mandiri dalam ekonomi/mampu berma’isyah, beraqidah murni, beribadah shahih, berkemampuan mengendalikan diri, effisien waktu, tertib diri, dan bermanfaat bagi sesama.
Target komunal yaitu punya misi yang jelas, risalah yang sesuai Al-Qur’an dan Sunnah, kemampuan menghimpun kalimatul muslimin, mempunyai peran-peran operasional dalam mewujudkan tujuan-tujuan Islami, kesinambungan kerja, kemampuan membekali para ahlinya dengan sifat-sifat mulia (Q.S 5:54) dan komitmen akan ukhuwah Islamiyah.
Target struktural adalah adanya kepemimpinan yang tahu apa yang ia mau, tegaknya struktur di atas minhaj yang ilmi dan tarbawi, struktur yang mampu menghimpun para anggotanya dimanapun mereka berada (Q.S 9:128), kondisi tsiqoh prima antara qiyadah dan jundi, setiap kader mampu menempati posisinya yang tepat, setiap pertemuan kelompok/klubnya mampu mencerminkan 3 atmosfer bi-ah yaitu ruhiyah & taabbudiyah, ilmiyah & tsaqafiyah, da’awiyah & harakiyah.
Namun kenyataan hari ini ternyata ada bengkalai yang masih tersisa (begitu istilah Ust. Rahmat). Termasuk di dalamnya Fenomena Da’wah dan Du’at yang juga tercakup tentang pernikahan/jodoh. Mengenai hal ini kita harus melihatnya baik dari sudut pandang ikhwan maupun akhwat.
Bagi ikhwan, gagasan menikah sama dengan berperan sebagai pemikul. Berarti harus ada yang alat pemikul, ada tenaga untuk memikul, dan ada yang dipikul. Kondisi ini dipersulit dengan sistem pendidikan kita yang memperlambat kedewasaan. Jadilah kondisi ini yang bernaung dalam benak ikhwan. Maka jangan heran dalam usia 27 tahun, ikhwan masih asyik melenggang.
Sedangkan bagi akhwat, gagasan menikah sama dengan berperan sebagai yang dipikul. Di samping itu daya tahan hidup akhwat lebih besar dibanding ikhwan, angka kelahiran akhwat lebih besar dari ikhwan, terjadilah ledakan jumlah yang tidak seimbang. Sehingga di akhwat, usia 20 tahun mulai gelisah. Ada juga faktor lain yang bermain dalam kondisi ini, yaitu ketersinggungan bila diberikan orang ‘ammah’.
Permasalahan yang berkaitan dengan pernikahan/jodoh ini bukanlah persoalan diri kita masing-masing. Ia adalah persoalan bersama, persoalan dunia bahkan adalah persoalan nubuwwah. Di mana Rasulullah menyebutkan bahwa di akhir zaman satu laki-laki menjadi penjaga 50 perempuan. Kegelisahan yang mungkin lebih banyak menghinggapi akhwat ini pun sulit terbantu karena adanya fenomena kultural. Contoh mudahnya, kultur kita masih bermusuhan dengan ta’adud/poligami. Padahal ta’adud salah satu pintu pengalaman bagi kondisi akhir zaman tersebut, dan dalilnya secara syar’i jelas (Q.S 4:3).
Jadi persoalan pernikahan/jodoh bukanlah dalam arti satu pihak saja yang ragu-ragu, dan satu pihak lainnya yang menanti. Kita harus melihatnya (juga melihat persoalan-persoalan da’wah lain) dari perspektif jama’i. Untuk masalah perjodohan ini, ada cerita menarik yang dapat diambil pelajaran oleh ikhwan maupun akhwat. Ada seorang Ustadz yang seluruh binaannya telah ber’azzam, bahwa jika mereka meminta akhwat, mereka berpesan agar Ustadz mereka mencarikan akhwat yang usianya jauh lebih tua dari mereka ini. Ini satu contoh bahwa kita semua mencoba mencari jalan terbaik bagi masalah ini.
Dari pihak ikhwan maupun akhwat mutlak diperlukan persiapan dan kesiapan. Di antaranya adalah militansi (salah satu yang membangunnya adalah tarbiyah yang sehat) yang dapat menimbulkan Ruh Tahaddi yaitu semangat menantang bahaya. Ini dapat meminimalisir keraguan yang melanda baik di ikhwan maupun akhwat. Bagi akhwat mungkin paradigma Ummu Sulaim dapat dijadikan contoh. Dimana dia mau menerima lamaran Abu Thalhah.
Kemudian akhwat pun belajar itsar dan tasamuh. Misalnya bila ada ikhwan yang datang padanya, sedangkan dia masih muda, mungkin bisa dia coba alihkan ke seniornya yang umurnya sudah jauh lebih tua. Satu catatan kecil bahwa akhwat pun dapat menawarkan dirinya jika memang merasa sudah siap lahir dan batin. Dan ini bukanlah merupakan suatu kehinaan, asalkan secara praktisnya sesuai kaidah syar’i.
Terakhir kita semua memang harus memandang segala sesuatu dari perspektif jama’i. Dua hal yang juga sangat penting yang seharusnya kita ingat, pertama, kita jadi bermakna karena da’wah, bukan sebaliknya. Kedua, yang akan kita ubah adalah peradaban, bukan sekedar fenomena atau rezim dan sistem.
Pembicaraan kedua pada sesi ini adalah A. Mabruri M. Akbari yang banyak mengupas hal yang ditemuinya di lapangan, karena beliau juga aktif mengurus KLUB (Klab Ummi Bahagia). Dalam 2 tahun perjalanan KLUB telah melakukan 383 (tiga ratus delapan puluh tiga) proses ta’aruf dari sekitar 500 orang anggota aktif dan lebih dari 3000 orang anggota pasif, menyebar di seluruh Indonesia, bahkan hingga ke Australia dan Jepang.
Dari data-data yang dipaparkan (walaupun respondennya sedikit), ternyata permasalahan keraguan tidak dominan ada di pihak laki-laki, tapi juga di pihak perempuan. Namun yang paling penting adalah, ikhwan maupun akhwat, sama-sama lebih mengedepankan sikap toleransi yang didasari pada keikhlasan dan menomorduakan kebutuhan-kebutuhan pribadi yang kurang esensi dalam pandangan Islam.
Sumber : Al-Izzah No.9/Th.1/September 2000
0 komentar: on "Mengobati Virus Cinta"
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar